Home Blog Page 2

PUTUSAN MAHKAMAH KONTITUSI ; MENJEGAL JOKOWI DAN KIM Plus?

0

Oleh, Chandra Purna Irawan 

(Ketua LBH PELITA UMAT) 

Hari ini media mempublikasikan informasi terkait Mahkamah Konstitusi (MK) yang mengabulkan Judicial Review dalam perkara  Nomor 60/PUU-XXII/2024 MK tentang Undang-Undang (UU) Pilkada.  

Dalam putusan pada perkara bernomor 60/PUU-XXII/2024 MK. Dalam putusannya, MK memutus bahwa ambang batas (threshold) untuk mencalonkan kepala daerah tak lagi 25% akumulasi suara sah parpol atau gabungan parpol pada Pileg DPRD 2024 atau 20% kursi di DPRD 2020. 

Dalam putusannya MK menyatakan Pasal 40 ayat (3) UU Pilkada inkonstitusional. Amar putusan MK mengubah isi pasal 40 ayat 1 UU Pilkada. Pada poin c dinyatakan, provinsi dengan penduduk yang memiliki DPT 6 juta hinga 12 juta jiwa, parpol atau gabungan parpol harus memperoleh suara sah paling sedikit 7,5 persen untuk dapat mengusulkan gubernur dan wakil gubernur. 

Dengan Putusan MK No.60/PUU-XXII/2024 ini, maka di Jakarta untuk mengusung calon di Pilkada 2024, partai politik cukup memperoleh suara sebesar 7,5% di pemilu DPRD terakhir untuk dapat mengusung paslon di Pilkada Jakarta. 

Sehingga partai manapun yang memperoleh suara sebesar 7,5% di pemilu DPRD terakhir untuk dapat mengusung paslon di Pilkada Jakarta. Putusan ini memberikan peluang kepada PDIP untuk mencalonkan.

Selain itu yang menarik adalah putusan Mahkamah Konstitusi menolak mengenai batas usia dalam UU Pilkada.

Judicial Review yang tercantum dalam nomor 70/PUU-XXII/2024 itu diajukan oleh beberapa Mahasiswa. Judicial Review ini tidak terlepas dari adanya putusan Mahkamah Agung yang mengabulkan uji materiil terkait syarat usia calon kepala daerah. Dengan adanya putusan Uji Materiil MA ini, seseorang dapat maju menjadi calon kepala daerah berusia 30 tahun saat pelantikan sebagai kepala daerah. 

Namun putusan Uji Materiil MA tersebut “dihapus” dengan adanya Putusan MK No. 70/PUU-XXII/2024 itu kemudian masyarakat mengkaitkan dengan putra bungsu Presiden Jokowi, Kaesang Pangarep. Kaesang lahir di Solo, 25 Desember 1994. Artinya, saat penetapan calon kepala daerah, usia Kaesang masih 29 tahun, belum memenuhi syarat. Sehingga tidak dapat mencalonkan diri pada pilkada tahun ini. 

Pertanyaannya adalah apakah Putusan Mahkamah Kontitusi tersebut upaya untuk menjegal Jokowi dan KIM Plus? 

Demikian.

IG @chandrapurnairawan

PUTUSAN MK DAPAT DIANULIR DENGAN PERPPU

0

Oleh, Chandra Purna Irawan

(Ketua LBH PELITA UMAT)

Putusan MK No.60 dan 70, dapat dinilai mengacaukan strategi KIM Plus, misalnya untuk PILKADA Jakarta dan Kaesang batal menjadi calon gubernur Jawa tengah pasca Putusan MK No.70.

Untuk memulihkan kembali strategi KIM Plus, hanya ada satu jalan yaitu Pemerintah menerbitkan PERPPU untuk mengembalikan ambang batas (treshold) 20%.

Jika Pemerintah berani menerbitkan PERPPU untuk menganulir Putusan Mahkamah Konstitusi, maka secara kasat mata, terang benderang dilihat oleh masyarakat akan kepentingan pribadi, kelompok dan partai.

Sementara penulis sendiri tidak kaget jika PERPPU itu keluar untuk menganulir Putusan Mahkamah Konstitusi. Kenapa? Karena itu adalah watak demokrasi.

demokrasi itu sistem ilusi dan terdapat celah yang digunakan untuk menciptakan pemerintahan yang kuat atau absolut atau membuka pintu oligarki yaitu Koalisi. 

Sedangkan menurut William Blum menyatakan ”Demokrasi : Ekspor Amerika paling mematikan”. Andreas Schedler, ahli politik Center for Economic Teaching and Research di Mexico City, menelaah gejala Electoral authoritariania. Andreas menyatakan electoral authoritariania yaitu rezim yang menyelenggarakan pemilihan umum. Tapi Pemilu hanya jadi alat terus berkuasa. Pemilu dimanipulasi sedemikian rupa agar penguasa ini terus punya pengaruh. Rezim membunuh demokrasi dengan cara-cara demokratis 

kekuasaan itu cenderung korup, dan kekuasaan yang absolut cenderung korup secara absolut (power tends to corrupt, and absolute power corrupt absolutely),aturan formal dimanfaatkan untuk melegitimasi penyelewengan kekuasaan. Kondisi tersebut menyebabkan tidak adanya ruang kompetisi yang seimbang (uneven playing field).

Demikian.

IG @chandrapurnairawan

KAWAL PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI

0

Oleh, Chandra Purna Irawan

(Ketua LBH PELITA UMAT)

Apabila DPR akan mengambil Putusan Mahkamah Agung terkait batas usia pencalonan gubernur dan bupati, maka itu adalah salah langkah.

Putusan Mahkamah Agung terkait Uji Materiil terhadap  Peraturan yang berada dibawah undang-undang dengan batu ujinya adalah undang-undang.

Sedangkan Putusan Mahkamah Konstitusi terkait Judicial Review terhadap Undang-Undang dengan batu uji Konstitusi.

Sehingga apabila undang-undang yang menjadi rujukan Mahkamah Agung telah diubah atau dibatalkan oleh Mahkamah Konstitusi, maka secara otomatis Putusan Mahkamah Agung telah kehilangan objek dan batu ujinya.

Semestinya dari sini saja cukup mudah untuk dimengerti, jangan sampai terkesan mengadu Putusan MA dan Putusan MK.

Mestinya Putusan Mahkamah Kontitusi dihormati dan ditaati, sebagaimana pernyataan Presiden terkait Putusan Mahkamah Konstitusi ketika Pilpres. 

Sepertinya negara ini terkena gejala Rezim Otoriter Electoral, sebagaimana pendapat Andreas Schedler, ahli politik Center for Economic Teaching and Research di Mexico City, menelaah gejala _Electoral authoritarianism._ Andreas menyatakan electoral authoritariania yaitu rezim yang menyelenggarakan pemilihan umum, tetapi Pemilu hanya jadi alat terus berkuasa. Pemilu dimanipulasi sedemikian rupa agar penguasa ini terus punya pengaruh. Rezim membunuh demokrasi dengan cara-cara demokratis 

kekuasaan itu cenderung korup, dan kekuasaan yang absolut cenderung korup secara absolut _(power tends to corrupt, and absolute power corrupt absolutely)_,aturan formal dimanfaatkan untuk melegitimasi penyelewengan kekuasaan. Kondisi tersebut menyebabkan tidak adanya ruang kompetisi yang seimbang _(uneven playing field)._

Merujuk buku yang pernah saya tulis tahun 2017 yang berjudul “Diktator Konstitusional” dengan ciri-ciri yaitu mengubah regulasi untuk kepentingan pribadi dan kelompok, dengan diubahnya regulasi tersebut maka tindakan dan kebijakan yang semula adalah pelanggaran maka menjadi legal.

Demikian.

IG @chandrapurnairawan

GEJALA AUTOCRATIC LEGALISM PADA REZIM JOKOWI

0

Oleh, Chandra Purna Irawan

(Ketua LBH PELITA UMAT)

Putusan MK No.60 dan 70 telah membuka mata hati masyarakat, respon cepat dari Pemerintah dan DPR sehari setelah Putusan MK menaruh kecurigaan masyarakat ada apa dibalik respon yang begitu cepat.

Masyakat patut menduga bahwa Putusan MK No.60 dan 70 itu “mengacaukan” strategi koalisi yang dibangun oleh rezim dalam koalisi besar, gemuk dan kuat yaitu KIM Plus. Strategi tersebut berantakan pasca Putusan MK terlebih lagi putra Presiden Jokowi yaitu Kaesang terganjal oleh Putusan MK No.70 sehingga tidak dapat mencalonkan sebagai Gubernur di Jawa Tengah.

Penulis sejak 2017 pernah menyampaikan didalam buku bahwa sudah merasakan terdapat gejala regulasi atau peraturan perundang-undangan diubah dengan secara serampangan untuk melegitimasi hasrat kekuasaan dan kepentingan politik tertentu.

Gejala tersebut didalam akademik dikenal dengan istilah “autocratic legalism” yaitu merujuk pada tindakan seseorang yang menggunakan hukum untuk melegitimasi hasrat kekuasaannya. Hal ini terlihat dalam beberapa kebijakan yang dikeluarkan di Indonesia.

Menggunakan hukum sebagai alat untuk melegitimasi kekuasaan dikenal luas sebagai fenomena Autocratic Legalism. Praktik-praktik menuju otoritarian inilah yang mengarahkan suatu negara pada trust backsliding (menurunnya kualitas kepercayaan).

“Autocratic legalism” sebenarnya berawal dari sikap otokrasi yang dalam menjalankan agendanya, menggunakan hukum untuk melegitimasi perbuatannya.

konsepsi awal tentang negara hukum buyar dengan adanya fakta-fakta politik tentang pembuatan hukum penguasa. Ketika proses membuat hukum didominasi oleh politisi yang ingin mengeruk keuntungan dari kebijakan yang dibuatnya sendiri, yang lahir hanyalah hukum-hukum yang melayani kepentingan-kepentingan itu.

Demikian

IG @chandrapurnairawan