Tuesday, December 3, 2024
Home Blog

IZIN TAMBANG, TAKTIK REZIM KOOPTASI ORMAS KEAGAMAAN ?

0

Oleh, Chandra Purna Irawan

(Ketua LBH PELITA UMAT)

Presiden Indonesia Joko Widodo (Jokowi) telah memprakarsai sebuah kebijakan kontroversial untuk memberikan izin pertambangan kepada organisasi-organisasi keagamaan.

Secara politis, langkah ini sangat strategis, tampak seperti dirancang untuk mengamankan pengaruh jangka panjang terhadap bidang ekonomi dan politik Indonesia. Dengan bersekutu dengan kelompok-kelompok agama yang berpengaruh rezim tidak hanya memperkuat sekutu yang kuat tetapi juga berpotensi membentuk lanskap politik yang mendukung agenda pemerintahan tanpa koreksi suara lantang ormas keagamaan. 

Izin tambang yang diberikan kepada ormas keagamaan menimbulkan beberapa potensi yang berdampak serius kepada ormas tersebut, diantaranya yaitu:

PERTAMA, ORMAS KEAGAMAAN AKAN BERHADAPAN DENGAN MASYARAKAT. 

Timbulnya potensi konflik dengan masyarakat mengharuskan ormas keagamaan akan berhadapan langsung dengan masyarakat. Konflik yang muncul di sektor pertambangan seolah tak pernah berakhir. Misalnya konflik terkait pencemaran lingkungan, perampasan lahan, kriminalisasi, korban tewas di bekas lubang tambang menambah kerugian masyarakat.

Konflik pertambangan dapat menimbulkan potensi gangguan keamanan sehingga dapat

mengganggu keamanan dan ketertiban dalam masyarakat. 

konflik lahan pertambangan juga menimbulkan kerugian baik secara materiil maupun inmateriil baik dari pihak perusahaan maupun masyarakat. Bagi perusahaan konflik akan menimbulkan kerugian ketika kegiatan operasional pertambangan berhenti karena dilakukan penghentian secara paksa oleh masyarakat.

KEDUA, BERKURANGNYA KEPERCAYAAN MASYARAKAT TERHADAP ORMAS KEAGAMAAN.

apabila perusahaan tambang yang berada dibawah pengelolaan ormas keagamaan tidak dapat menyelesaikan konflik dengan masyarakat, maka berpotensi berkurangnya kepercayaan masyarakat terhadap ormas keagamaan tersebut. 

Masyarakat akan menilai tidak ada perbedaan dengan perusahaan lainnya, mengeruk keuntungan yang sebesar-besarnya. Jika ada yang menyatakan tidak akan meraup keuntungan tetapi untuk berbagi, sebaiknya tidak perlu mendirikan perusahaan tambang tetapi cukup ormas keagamaan saja.

KETIGA, POTENSI “DIPERALAT PENGUSAHA TAMBANG”

Ormas keagamaan tersebut mungkin secara keseluruhan tidak memiliki pengalaman dalam ekplorasi tambang. Siapa yang memiliki pengalaman dan sumber daya? Jawabannya adalah pengusaha tambang.

Pengusaha tambang dapat menyodorkan kerjasama dengan sistem KSU/KSO atau perjanjian lainnya. Dengan demikian pengusaha yang memiliki kepentingan usaha pertambangan juga tetap bisa menjalankan kegiatan bisnis mereka dan hanya perlu menggandeng Ormas keagamaan supaya usaha mereka tak terganggu oleh masyarakat dll, cukup sampaikan atau pasang plang “kawasan tambang ini milik ormas keagamaan A”. Sehingga tokoh dan kader yang berada dibawah sibuk melakukan klarifikasi dan memberikan penjelasan.

KEEMPAT, ORMAS KEAGAMAAN BERPOTENSI BANKRUT.

Tidak bisa dimungkiri dalam menjalankan bisnis dan usaha, kerugian sudah pasti menjadi sebuah risiko yang mau tidak mau harus dilalui. Terlebih lagi bisnis tambang adalah padat modal dan jumlah besar.

Oleh karena itu perlu disadari sejak awal akan potensi tersebut, tidak mampu melakukan mitigasi maka menimbulkan potensi kerugian yang mengakibatkan ormas keagamaan bangkrut.

Demikian.

IG @chandrapurnairawan

INTERNATIONAL MUSLIM LAWYERS CHARTER

1) We agree to conduct legal defense of Muslims in various countries from all forms of Islamophobia, discrimination, persecution, intimidation, genocide and colonization such as in Palestine, Syria, Rohingya, Uyghur etc.

2) We agree to continue to proselytize around the world about the obligation to apply Islamic law in a kaffah manner until Islamic life is established.

3) We call on all Muslim lawyers, prosecutors and judges everywhere to take part in this struggle; this is the time to dedicate all legal knowledge and abilities to this noble way of da’wah.

Jakarta, November 25, 2023

We urge the government of Uzbekistan to comply with international law

Press Release International Muslim Lawyers Alliance

Legal Statement:

We urge the government of Uzbekistan to comply with international law

we get information from the media about the Uzbekistan government continues its relentless campaign against devout Muslims who practice their religion outside of state control. State authorities punish independent Muslims with discriminatory arrests, incommunicado detention, torture, and imprisonment. Police regularly threaten and harass relatives of independent Muslims. The government maintains tight control over the media. Uzbek authorities also took a crackdown on members of Hizb ut-Tahrir (HT), even though Hizb ut-Tahrir (HT) is a peaceful organization and has never committed anarchic acts. 

In Support for the muslim in Uzbekistan who are being abused tyrannical regime of Uzbekistan only because they pray day and night to fulfill the promise of Allah (swt), The Almighty, and give glad tidings to the Messenger of Allah (saw) by resuming Islamic life by establishing the second Rightly Guided Caliphate on the method of the Prophethood. We will deliver a legal statement:

1) the actions of the government of Uzbekistan (discriminatory arrests, incommunicado detention, torture, and imprisonment) have violated international law, based on article 19 (1) and (2) of the ICCPR (International Covenant on Civil and Political Rights) : 
  1. Everyone shall have the right to hold opinions without interference.
  2. Everyone shall have the right to freedom of expression; this right shall include freedom to seek, receive and impart information and ideas of all kinds, regardless of frontiers, either orally, in writing or in print, in the form of art, or through any other media of his choice.
  • ICCPR Article 19(2) protects sharing “ideas of all kinds … orally, in writing or in print, in the form of art, or through any other media. The Covenant broadly protects expression because it is “essential for any society” and necessary to ensure transparency, accountability, and the promotion of human rights generally; Uzbekistan goverment must also “ensure that persons are protected from any acts by private persons or entities” which would harm the right to freedom of expression.In other words, Uzbekistan goverment must ensure that free public discourse is possible by preventing acts, private or public, designed to chill free expression. The ICCPR, therefore, protects expression from intrusion by a broad range of actors;
  • We urge the government of Uzbekistan to comply with international law, namely to civil and political right.

Best Regards Sincerely,

Chairman of the International Muslim Lawyers Alliance

Chandra Purna Irawan

Lawyer

Press Release International Muslim Lawyers Alliance

0

Legal Statement:

THE UNITED STATES, GERMANY AND OTHER COUNTRIES THAT SUPPLY WEAPONS TO ISRAEL , MUST BE PUNISHED.

A handful of countries have provided Israel with hundreds of millions of dollars’ worth of weaponry and military equipment since October, although the details of many transfers remain shrouded in secrecy. The United States and Germany — which supply the vast majority of Israel’s imported arms, say the transfers are essential to support Israel’s security.

This month, the International Court of Justice began hearing a legal challenge over German arms exports to Israel, while the 47-member U.N. human rights council passed a nonbinding resolution calling for the end of the “sale, transfer and diversion of arms, munitions and other military equipment” to Israel.   

Under the 1948 Convention on the Prevention and Punishment of the Crime of Genocide, the United States, Germany and other countries that supply weapons to Israel, must be punished based on Article II of the Genocide Convention. “Genocide means any of the following acts committed with intent to destroy, in whole or in part, a national, ethnical, racial or religious group, as such : 

(a) Killing members of the group;

(b) Causing serious bodily or mental harm to members of the group;

(c) Deliberately inflicting on the group conditions of life calculated to bring about its physical destruction in whole or in part;

(d) Imposing measures intended to prevent births within the group; 

(e)Forcibly transferring children of the group to another group”

Based on article 6 of the Rome Statute of The International Criminal Court. “genocide” means any of the following acts committed with intent to destroy, in whole or in part, a national, ethnical, racial or religious group, as such: 

(a) Killing members of the group; 

(b) Causing serious bodily or mental harm to members of the group; 

(c) Deliberately inflicting on the group conditions of life calculated to bring about its physical destruction in whole or in part; 

(d) Imposing measures intended to prevent births within the group; 

(e) Forcibly transferring children of the group to another group”. 

Based on Rome Statute of The International Criminal Court and the Genocide Convention. The following acts must be punished:

a). Genocide

b). Conspiracy to commit genocide; 

c). Direct public instigation to commit genocide;

d). Experiment to commit genocide; 

e). Assistance in genocide. 

Based on Rome Statute of The International Criminal Court and the Genocide Convention,we analyze the actions taken against ethnic. We use 2 (two) methods, namely Actus Reus (action) and Mens Rea (evil intent) in action to ethnic. 

ACTUS REUS.Based on article 6 of the Rome Statute of the International Criminal Court. “genocide” means any of the following acts committed with intent to destroy, in whole or in part, a national, ethnical, racial or religious group, as such: 

(a) Killing members of the group; 

(b) Causing serious bodily or mental harm to members of the group; 

(c) Deliberately inflicting on the group conditions of life calculated to bring about its physical destruction in whole or in part;

(d).   Imposing measures intended to prevent births within the group;

(e).   Forcibly transferring children of the group to another group.”

To assess the actions taken to PALESTINE ethnic into the category of genocide, then it must be in accordance with the criteria of ACTUS REUS based on article 6 of the statutes of Rome;

(a) Killing members of the group; 

(b) Causing serious bodily or mental harm to members of the group; 

(c) Deliberately inflicting on the group conditions of life calculated to bring about its physical destruction in whole or in part; 

MENS REA.to prove that the actions are being carried out to the Palestine is the act of genocide.We use criminal elements; Intention already exists before the action is executed. Kayishema and Ruzindana, (Assembly Court), May, 21, 1999, Paragraph 91: “Mens reamust have existed before the genocide act was committed.However, individual actions do not require preparation; the only consideration is that the act is indeed directed to continue goals that characterize genocide.” Kayishemaand Ruzindana, (Assembly Court), Mey, 21,1999, Paragraph 91: “This particular purpose distinguishes the crime of genocidewith ordinary murder crimes.The Court of Appeals contended that in order to determine the occurrence of an act of genocide.Mens reaIntention already exists before the action is executed”.

Best Regards Sincerely,

Chairman of the International Muslim Lawyers Alliance

Chandra Purna Irawan

Lawyer

GEJALA AUTOCRATIC LEGALISM PADA REZIM JOKOWI

Oleh, Chandra Purna Irawan

(Ketua LBH PELITA UMAT)

Putusan MK No.60 dan 70 telah membuka mata hati masyarakat, respon cepat dari Pemerintah dan DPR sehari setelah Putusan MK menaruh kecurigaan masyarakat ada apa dibalik respon yang begitu cepat.

Masyakat patut menduga bahwa Putusan MK No.60 dan 70 itu “mengacaukan” strategi koalisi yang dibangun oleh rezim dalam koalisi besar, gemuk dan kuat yaitu KIM Plus. Strategi tersebut berantakan pasca Putusan MK terlebih lagi putra Presiden Jokowi yaitu Kaesang terganjal oleh Putusan MK No.70 sehingga tidak dapat mencalonkan sebagai Gubernur di Jawa Tengah.

Penulis sejak 2017 pernah menyampaikan didalam buku bahwa sudah merasakan terdapat gejala regulasi atau peraturan perundang-undangan diubah dengan secara serampangan untuk melegitimasi hasrat kekuasaan dan kepentingan politik tertentu.

Gejala tersebut didalam akademik dikenal dengan istilah “autocratic legalism” yaitu merujuk pada tindakan seseorang yang menggunakan hukum untuk melegitimasi hasrat kekuasaannya. Hal ini terlihat dalam beberapa kebijakan yang dikeluarkan di Indonesia.

Menggunakan hukum sebagai alat untuk melegitimasi kekuasaan dikenal luas sebagai fenomena Autocratic Legalism. Praktik-praktik menuju otoritarian inilah yang mengarahkan suatu negara pada _trust backsliding (menurunnya kualitas kepercayaan)._

“Autocratic legalism” sebenarnya berawal dari sikap otokrasi yang dalam menjalankan agendanya, menggunakan hukum untuk melegitimasi perbuatannya.

konsepsi awal tentang negara hukum buyar dengan adanya fakta-fakta politik tentang pembuatan hukum penguasa. Ketika proses membuat hukum didominasi oleh politisi yang ingin mengeruk keuntungan dari kebijakan yang dibuatnya sendiri, yang lahir hanyalah hukum-hukum yang melayani kepentingan-kepentingan itu.

LBH PELITA UMAT Datangi Kantor Perserikatan Bangsa-Bangsa (UN)

Kamis 19 April 2024, LBH PELITA UMAT mendatangi Kantor Perserikatan Bangsa-Bangsa (UN) yang berada di Indonesia. Kedatangan kami diterima oleh Staft United Nations dan memberikan Tanda Terima Surat. Dalam agenda tersebut, kami menyampaikan Surat Tuntutan atau Pernyataan Hukum sebagai berikut:

PERTAMA, bahwa kami mendesak Perserikatan Bangsa-Bangsa untuk menyatakan Israel tidak sah sebagai negara dan mengeluarkan dari keanggota Perserikatan Bangsa-Bangsa dan menghapus Israel dari peta dunia;

_that we urge the United Nations to declare Israel is illegitimate state and removing from the members of the United Nations. Removing Israel from the World Map_

KEDUA, bahwa kami sangat mengecam atas tindakan biadab zionis yahudi yang melakukan penjajahan, pencaplokan tanah, genosida membunuh rakyat sipil serta membunuh anak-anak dan wanita dan merusak rumah sakit. Sesungguhnya yang terjadi adalah penjajahan oleh zionis yahudi terhadap Palestina dan bukan konflik antara HAMAS dan Israel;

_that we are very condemns for the Jewish Zionist savage acts that carry out colonialism, the annexation of the land, genocide kill civilians and destroying the hospital. What happened was the colonialism by the Jewish Zionists to the Palestine and not the conflict between Hamas and Israel_

KETIGA, bahwa kami mendesak PBB untuk menghentikan penjajahan tersebut, sebagaimana yang telah diatur dalam Hukum Internasional tentang hak bangsa-bangsa yang terjajah untuk penentuan nasib mereka sendiri sudah diterangkan dengan setegas-tegasnya dalam Putusan (Resolusi) 1514 (XV) dalam sidang Umum Perserikatan Bangsa Bangsa PBB, pada tanggal 14 Desember, 1960, dengan nama: “Pernyataan Mengenai Kewajiban Pemberian Kemerdekaan Kepada Negeri-Negeri dan Bangsa-Bangsa terjajah”. Kedudukan hukum dari resolusi ini sudah diperkuat oleh Mahkamah Internasional (International Court of Justice) dalam Putusannya tanggal 21 Juni 1971;

_that we urged the United Nations to stop the colonialism, as has been regulated in international law on the rights of colonized nations for determining their own fate, It has been explained as firmly in the decision (resolution) 1514 (XV) in the United Natio

POLEMIK PASKIBRA BUKA HIJAB, PELANGGARAN HUKUM JIKA TERDAPAT PERINTAH DAN MENJADI SYARAT.

0

Oleh, Chandra Purna Irawan SH MH

(Ketua LBH PELITA UMAT)

Beredar informasi di media terkait adanya dugaan pelarangan penggunaan jilbab bagi petugas Paskibraka Muslimah tahun ini.

Pelarangan hijab adalah potret buruk toleransi, diskriminasi dan kebencian verbal yang ditampakkan secara terbuka. Toleransi hanya seolah jargon kosong dan tampak tidak berlaku jika berkaitan dengan Islam dan umat Islam. 

Apabila informasi tersebut benar, LBH PELITA UMAT sangat mengecam dan mendorong agar aparat penegak hukum untuk melakukan penyelidikan atas hal tersebut, karena pelarangan yang termaktub dalam syarat dan/atau terdapat perintah membuka hijab adalah pelanggaran hukum.

Bahwa perlu diketahui UUD 1945 memberikan jaminan, perlindungan untuk memeluk agama dan beribadat menurut agamanya dan  menyatakan pikiran dan sikap sesuai dengan agamanya Pasal 28E ayat (1) Jo Pasal 29 ayat (1) dan (2). Berdasarkan prinsip _Non-Derogability_ yaitu Negara tidak boleh mengurangi kebebasan beragama atau berkeyakinan dalam keadaan apapun.

Berdasarkan Pasal 4 UU 39/199 Tentang HAM 4 Hak Beragama merupakan hak asasi manusia yang tidak dapat dikurangi dalam keadaan apapun dan oleh siapapun, termasuk untuk mengenakan jilbab sebagai syarat dalam Paskibra. 

Mengenakan hijab sepenuhnya merupakan hak asasi dan tidak bisa dilarang termasuk oleh siapapun. Dengan demikian peraturan pelarangan penggunaan hijab adalah suatu perbuatan yang tidak dapat dibenarkan secara hukum baik hukum Internasional maupun hukum Nasional.

Demikian

HIJAB MENGANCAM KEBHINEKAAN & PERSATUAN?

0

Oleh, Chandra Purna Irawan,.S.H.,M.H.

(Ketua LBH PELITA UMAT)

Mengutip pernyataan Ketua BPIP yang dipublikasikan di media “Penampilan Paskibraka putri dengan mengenakan pakaian, atribut dan sikap tampang sebagaimana terlihat pada saat pelaksanaan tugas kenegaraan yaitu Pengukuhan Paskibraka adalah kesukarelaan mereka dalam rangka mematuhi peraturan yang ada dan hanya dilakukan pada saat Pengukuhan Paskibraka dan Pengibaran Sang Merah Putih pada Upacara Kenegaraan saja,” kata Yudian dalam keterangannya, Rabu (14/8).

Jika pernyataan tersebut benar dari Yudian, LBH PELITA UMAT sangat mengecam. Dari pernyataan tersebut ada 2 (dua) hal yang sangat krusial yaitu “kesukarelaan mereka dalam rangka mematuhi peraturan yang ada”; “hanya dilakukan pada saat Pengukuhan Paskibraka dan Pengibaran Sang Merah Putih pada Upacara Kenegaraan saja”.

Pernyataan “kesukarelaan mereka dalam rangka mematuhi peraturan yang ada” sebagai bukti atau mengkonfirmasi adanya peraturan/syarat yang sangat tidak toleran, diskriminasi dan kebencian terhadap hijab.

Sedangkan pernyataan “hanya dilakukan pada saat Pengukuhan Paskibraka dan Pengibaran Sang Merah Putih pada Upacara Kenegaraan saja”, maka Istana Negara harus mengklarifikasi apakah “Upacara Kenegaraan” dilarang menggunakan hijab?!.

Kemudian masih mengutip dari media. Yudian menyampaikan, _”saat proklamasi, Indonesia terdiri dari berbagai kebhinekaan. Dalam rangka menjaga kembali persatuan, dibuatlah Paskibraka dalam bentuk seragam, untuk menjaga kebhinekaan itu dalam rangka kesatuan”._

Jika pernyataan tersebut benar dari Yudian, LBH PELITA UMAT sangat mengecam. Kenapa? Pernyataan tersebut dapat dinilai makna kebalikan (contrario) yaitu “penggunaan hijab tidak menjaga kebhinekaan dan persatuan”.

Semestinya yang bersangkutan ketika mengeluarkan pernyataan mesti sadar akan makna dan maksud pernyataan nya _(opzet als oogmerk)_  dan mesti sadar media akan dipublikasikan oleh media akan pernyataan nya tersebut _(opzet met zekerheidsbewustzijn)_ 

Sehingga tidak mengeluarkan pernyataan atau narasi polarisasi yang bersifat _indelingsbelust_ (pengkotak-kotakan) yang mengarah kepada perpecahan.

Demikian